Bibi

Ketika saya masih kecil, Mama mengajari kami bagaimana merawat rumah, termasuk merawat perabotan rumah tangga. Tugas pun dibagi, saya diberi tanggung jawab untuk menyapu halaman rumah, mencabuti rumput yang mulai tinggi, membuang sampah ke penampungan serta menyiram tanaman, urusan bagian luar rumah deh termasuk mewakili Ayah ikut arisan RT, he he. Sementara kakak saya ditugasi menjaga kebersihan di dalam rumah seperti menyapu lantai, mengepel juga mencuci piring. Kalau Kakak sedang sibuk, beberapa tugasnya saya yang menyelesaikan. Ketika saya sakit, giliran tugas saya yang Kakak kerjakan.

Sekarang agak berbeda, anak-anak tidak terlalu cekatan dalam hal-hal yang saya sampaikan tadi. Meski Mama tidak membaca buku-buku sejarah, juga tidak ikut kelas-kelas parenting, mendidik kami dengan cara tersebut dia lakukan karena ingin anak-anaknya memahami apa yang seharusnya dikerjakan.

Saya pikir, apa yang dilakukan Mama dan juga para ibu lainnya itu punya tujuan mulia. Dulu saya sempat mengeluh kenapa pekerjaan bibi (PRT) harus kami kerjakan. Dan pelajaran itu terasa manfaatnya justru setelah kami dewasa.

Akhir-akhir ini, saya melihat di lingkungan keluarga besar, juga di lingkungan tempat tinggal, remaja-remaja seperti ketinggalan pelajaran soal yang tadi itu. Sekolah tinggi itu bagus, menjadi dokter itu luar biasa, menjadi pengusaha juga tidak kalah hebatnya. Hanya saja bekal praktis bagaimana menjadi seorang perempuan dan laki-laki di dalam rumah itu juga tidak bisa ditinggal. Berapa banyak anak perempuan yang sering “turun” ke dapur? Bagaimana dengan laki-lakinya?

Pernah terpikir, mungkin bagus juga kalau saya dan kawan-kawan membuka kursus singkat untuk membuat kue, memasak, membuat roti yang ditujukan kepada remaja putri, supaya mereka punya bekal tambahan. Mudah-mudahan ide ini tidak digolongkan sebagai bid’ah, maklum saja, ilmu agama saya yang terlalu dangkal.

Leave a comment